Nama: Eka Delianita.Y
Kelas: XI.Farmasi.A
Memori Tentang Senja
Sepucuk kenangan menggulung ombak yang pecah menabrak
karang. Sang pantai sudah paham bahwa ombak akan selalu datang tepat pada
waktunya seperti kenangan yang selalu datang saat hati sedang menyendiri
memandang semu. Senja yang selalu larut pada cakrawala selalu menyajikan sesuatu yang tidak terlupakan, seperti
sore ini. Pasir seperti menahanku untuk beranjak, momen ini selalu saja
membuatku terpaku. Kenangan itu selalu saja hadir seiring tenggelamnya senja
diujung laut yang ku pandang. Hembusan angin yang membelai manja wajahku
membuat mataku terpejam sesaat. Bayangan itu kembali muncul. Dipelataran senja temaram
ini menjadi saksi bisu kisah kita. Kisah yang sampai detik ini masih membuatku
sulit untuk percaya bahwa senja yang dulu membawamu padaku, ia juga yang
mengantarkanmu pergi ke penghujung langit yang entah dimana aku tak tau. Yang
jelas setiap senja hadir ada dua perasaan yang sulit untuk dijelaskan disini.
Rasa benci yang hebat dan rasa kehilangan yang jauh lebih hebat daripada ombak
yang selalu bertabrakan dengan karang-karang disekitar pantai. Hidup kadang
selalu penuh kejutan seperti yang selalu kamu katakan, "Anggap saja kamu
besok ulangtahun. Menanti kejutan apa saja yang akan kamu dapat, mengira-ngira
apa saja yang akan terjadi esok." Mudah saja memahami setiap kata-katanya
namun aku tidak mampu memahami keadaan hatinya.
Aku mencintaimu dalam dua keadaan. Keadaan dimana aku benar-benar mencintaimu dan keadaan dimana aku membenci semua sikap dan omong kosongmu. Senja yang pernah kamu janjikan tidak seindah yang aku bayangkan. Senja kali ini lebih menyakitkan dibandingkan senja sebelumnya.
"Aku benci kamu, Gama." Setetes bulir air yang ku tahan dikelopak mata jatuh begitu saja. Lancang sekali! Padahal aku sudah melarangnya untuk jatuh namun dia tetap saja jatuh. Aku meringkuk memeluk kakiku. Tidak pernah sedingin ini sebelum kamu benar-benar pergi jauh dari kehidupanku. Keadaan yang sama persis saat kamu menghampiriku.
"Kamu kenapa?" Aku mendongak ke arah seseorang yang bertanya padaku, mengusap air mata dan hidungku menggunakan kedua tanganku lalu menggeleng pelan. Tanpa permisi dia duduk disebelahku ikut memandang laut dan tentunya senja yang hampir temaram.
"Kalau kamu menikmati senja yang temaram dengan tangisan mana indah dipandang?" Matanya tetap lurus ke depan, aku menengok ke arahnya, memperhatikan wajahnya.
Ah asing, siapa dia?
"Bodo amat" jawabku singkat.
Kulihat dia menoleh ke arahku lalu tersenyum pelan.
"Mau lihat senja yang jauh lebih indah? Besok kalau kamu mau datang lagi kesini, ditempat ini." Dia bangkit dan berlalu pergi meninggalkan aku yang sedang duduk menatap laut. Mataku memperhatikan langkahnya. Jalannya cepat lebih cepat dari orang yang sedang terburu-buru. Tapi, tadi dia bilang apa? Aku harus kesini lagi besok? Untuk apa? Memangnya dia siapa? Kita bahkan baru bersama selama 10 menit. Dan aku tidak tau namanya. Oke stop! itu tidak penting. Namun entah mengapa esoknya aku datang lagi kesini. Berjalan menyusuri pantai dengan menenteng sandal ditangan kiriku dan sesekali aku berteriak. Disini sepi sekali.
"Datang juga ternyata." Dia mengagetkanku. Aku hanya tersenyum sinis padanya. Padahal semalaman aku memikirkan dia. Sialan sekali! Aku membuang muka memandang hamparan laut, dan langit hampir senja.
"Ayok, nanti terlambat." Aku kaget. Tau apa yang dia lakukan? Menyentuh tanganku. Bukan, bukan seperti itu tapi dia menggenggam tanganku bukan jemariku tapi tangan. Dalam sekejap hatiku runtuh. Sialan, umpatku. Namun bodohnya aku hanya diam saja. Dia menarikku ke atas batu yang besar dan tinggi.
"Disini, lihat" tunjuknya.
Dengan malas ku palingkan wajahku dan percayalah ini indah sekali. Mataku tidak berhenti untuk menatap keindahannya. Tapi, entah senja temaram dengan laut tenang yang indah atau dia yang membuat semuanya menjadi indah. Aku tidak tau. Mau ku jelaskan bagaimana sosoknya? Dia tinggi, hidungnya tidak mancung dan tidak juga pesek, kulit kuning langsat, rambutnya tidak gondrong namun kalau untuk diacak-acak sepertinya bisa, dan terakhir dia punya wajah yang tidak tampan namun manis sekali. Aku gelisah diatas tempat tidurku memikirkan bagaimana hari esok akan terjadi namun seperti yang dia katakan bahwa besok adalah kejutan. Sore tadi adalah hari kedua aku mengenalnya dan kini aku tau namanya, Gama. Sebelum aku mengetahui namanya, aku sudah jatuh cinta padanya. Setiap sore, kita menatap senja diatas batu tinggi atau di pantai duduk diatas pasir. Ini baru sore ke-12 yang kita lewati bersama. Genggaman tangannya erat, seerat perasaanku padanya. Namun dia tidak pernah mengatakan apapun tentang perasaannya padaku, begitupun sebaliknya. Tapi dia bersikap seolah dia mencintaiku.
"Nanti kita kalau nikah disini yah, disaksikan senja temaram dengan laut tenang dan langit yang oranye" jelasnya datar. Bagaimana rasanya? Apa kau pernah merasakannya? Sungguh walaupun itu hanya gurauan aku berharap kalau itu benar-benar terjadi. Bukankah orang jatuh cinta memang seperti itu? Tapi yang aku pertanyakan adalah apakah dia juga jatuh cinta padaku seperti aku sangat jatuh cinta padanya?
"Ayok pulang" seperti biasanya dia menggenggam erat jemari kananku. Entah ini genggaman ke berapa namun rasanya kali ini beda. Seperti genggaman takut kehilangan. Erat namun dingin.
"Aku tidak tau apakah kita akan terus seperti ini. Tapi kalau aku pergi apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya tetap dengan nada datar dan tenang. Dia memang seperti itu.
"Seperti kata patrick pada spongebob. Aku akan menunggumu hingga kembali" jawabku tenang, yang aslinya aku was-was dan takut dengan perkataannya.
"Kalau aku tidak akan pernah kembali. Bagaimana?" Aku berhenti sejenak yang membuatnya ikut berhenti, dia menatapku dan tetap menggenggam tanganku.
"Aku akan tetap. . . menunggumu" jawabku. Dia melepaskan genggamanya, menatapku penuh arti dan aku tidak tau artinya, lalu dia mundur perlahan sekitar lima langkah yang panjang. Tau apa yang dia lakukan? Merentangkan kedua tangannya. Mata dan kepalanya mengkodeku untuk menyambut rentangan tangan itu. Aku berlari kecil dan. . . rasanya hangat. Aku memeluknya erat diatas pasir dengan ombak yang menabrakan dirinya ke karang dan juga senja yang sudah hampir hilang. Dia balas memelukku. Pelan, lembut aku merasakan detak jantungnya yang tidak beraturan menyatu dengan nafasnya diatas kepalaku. Angin pantai yang dingin tidak bisa mengusikku kali ini. Aku tau pasti dia marah karena sekarang aku hangat dalam dekapan Gama. Orang yang aku cintai.
"Jangan pernah merasa kedinginan lagi. Pelukku akan selalu bersamamu meski kamu tidak menyadarinya." Aku tidak sepenuhnya mengerti karena aku hanyut dalam peluknya.
"Aku mencintaimu juga, Senja." tambahnya. Aku melepas peluknya dan menatap matanya berusaha mencari tau apa yang dia katakan itu benar atau hanya gurauan semata. Namun tetap aku tidak pernah mengerti arti dari tatapan itu.
"Ayok pulang" ajaknya sembari kembali menggenggam jemariku yang tadi sempat terlepas. Aku tidak tau tapi aku lega.
Sore ke 13. Aku berdiri menatap senja temaram yang sebentar lagi hilang. Dia belum datang kesini. Mungkin dia sibuk. Aku pulang dengan tangan hampa yang tidak digenggam. Sore berikutnya, seterusnya aku menantinya hadir menemuiku ditemaramnya senja. Namun hingga hari ini. Sore yang harusnya ke 213 bersamanya tetap sama, kosong. Aku berdiri menghapus air mataku dan hidungku dengan tanganku. Secepat angin pantai aku jatuh cinta, selamban ombak meruntuhkan karang aku melepasnya. Dia hadir seperti senja, indah namun sekejap. Dan ini menyakitkan saat aku sudah mengetahui dia mencintaiku lalu dia pergi begitu saja tanpa aku tau dia kemana. Siluet terindah dalam hidupku. Aku membencimu, pada setiap omong kosongmu tentang rencana pernikahan kita namun aku jauh lebih mencintaimu saat kamu duduk disebelahku untuk pertama kalinya. Keadaanku saat ini, hanya rindu. Itu saja. "Kenapa?" tanyanya sembari menatap hangat mataku. Aku menggeleng pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat didepan mataku. Hari ini, tepat sore ke 1000. Dan dia kembali saat aku sedang termangu menatap temaramnya senja yang hampir menghilang diujung laut. Dia kembali lagi diantarkan oleh senja yang hampir menghilang, sama seperti saat dia pergi meninggalkanku disore ke 12. Aku masih berdiri, masih diam membisu. Rindu ini, rindu yang aku tahan sejak kepergiannya waktu itu. Rindu yang terkumpul sekarang hampir pecah begitu saja. Air mataku mengambang. Entah ini apa, yang jelas aku hanya rindu, itu saja. Ada rasa bahagia dalam sudut hatiku. Ada rasa bersyukur atas penantianku selama ini. Yang rasanya mungkin bagi oranglain itu sia-sia. Dia melangkah mundur, merentangkan tangannya selebar mungkin. Aku tidak sanggup sungguh tidak sanggup untuk tidak memeluknya saat ini. Aku berhamburan ke arahnya. Air mata bahagia terus keluar dari mataku. Isakan tangis terdengar seperti tawa yang terdengar nyaring. Ini bahagia. Tuhan aku bahagia, terimakasih telah mengembalikan dia padaku saat ini. Jangan biarkan dia pergi lagi, sungguh aku menyayanginya. Pelukan ini lebih nyaman dari pelukan pertama. Deru nafas ini lebih tenang dan menenangkan.
Dia melepas pelukku darinya "Rindu?" tanyanya singkat dan tenang. Aku mengangguk, "Tidak pernah sehebat ini." maksudku tidak pernah aku merasakan rindu seperti ini. Rindu yang sangat hebat. Sekarang kita disini, diatas batu tinggi ditemani gelap malam dengan terang bulannya. Dia seperti biasa, duduk disamping kananku menggenggam tanganku. Menatap hamparan laut tak bertepi ditengah kegelapan dan kesunyian. Namun tidak begitu sunyi karena ombak tidak pernah tidur, dia tidak letih untuk menghantamkan tubuhnya pada karang dipantai. Sulit untuk dijelaskan bagaimana bahagianya aku. Kebencian yang pernah aku jelaskan hanyalah bualan semata. Aku tidak pernah benar-benar membenci kepergiannya dan rencananya. Aku hanya membenci mengapa waktu memisahkan aku dengannya. Tapi hari ini aku tidak peduli lagi karena dia disampingku, menggenggam tanganku.
"Ayok pulang!" aku menoleh dan menganggukan kepalaku sebagai tanda setuju. Aku bangkit, dia juga. Aku menatapnya dibawah sinar rembulan. Wajahnya tetap sama, tetap manis. Namun aku merasa tiba-tiba gelap semakin menyelimuti dan entahlah aku tidak tau apa yang terjadi lagi. Sayup ku dengar dia memanggil namaku tapi terasa sangat jauh sekali anehnya aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Senja, aku mencintaimu. ." mataku mulai terbuka. Cahaya disini menyilaukan mataku. Tempat yang indah seperti surga kah? Tapi aku tidak melihat siapa-siapa disini. Dan ku lihat aku memakai gaun berwarna putih yang menawan dan aku mulai berfikir.
"Sejak kapan aku punya gaun dan sepatu indah ini? Dan mengapa rambutku terurai panjang?" Aku celingukan. Tuhan ini dimana? Jangan membuatku takut. Segera bangunkan aku jika ini mimpi. Beberapa kali ku pejamkan mata dan membukanya aku tetap menatap tempat yang sama. Aku memejamkan lagi mataku untuk waktu yang lama. Aku dengar sesuatu, "Senja. . ."
Gotcha! Aku membuka mataku. Dan aku melihat Gama membelakangiku. Untuk apa dia ditempat ini? Kalian tau ini dimana? Dipemakaman. Aku mendekatinya, namun tiba-tiba angin seperti menghadangku. Aku terjatuh namun tidak sakit. Dan aku baru sadar kalau aku sedari tadi melayang tidak menginjak tanah. Aku terdiam untuk beberapa saat. Apa aku sudah pergi? Kapan? Mengapa aku tidak sadar? Lalu kenapa sekarang aku seperti ini? Bagaimana ini bisa terjadi padaku? Aku terjatuh, terduduk kali ini ke tanah. Aku menangis sejadinya disini. Saat Gama berbalik meninggalkan pemakaman aku melihat namanya dipapan itu. Senja, 4 Mei 2006. Itu adalah tanggal dimana Gama memelukku untuk yang kali pertamanya. Itu adalah tanggal dimana dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku menangis lebih keras lagi saat Gama melewatiku seperti angin. Tembus begitu saja.
Tangisku tak terdengar oleh Gama. Jeritku seperti hembusan angin, kosong. Mengapa semuanya bisa jadi seperti ini? Lalu apa yang terjadi selama ini? Aku mimpi didalam kematianku sendiri? Sungguh ini lebih menyakitkan. Bahkan aku tidak tau kapan aku pergi meninggalkan dunia. Bahkan aku belum mengucapkan selamat tinggal pada Gama. Sebenarnya ini apa? Tuhan tolong jelaskan semuanya. Tuhan tolong tunjukan semuanya. Aku meringkuk memeluk kedua kakiku, membenamkan seluruh wajahku. Sungguh aku tidak percaya pada apa yang ku lihat saat ini. Ku pikir Gama yang meninggalkanku. Tapi nyatanya hari ini aku tau, bahwa aku yang meninggalkan Gama sendirian bahkan lebih jauh aku pergi dan tidak akan mungkin untuk bisa kembali lagi. Dan aku sedih, kini ragaku sudah tak dapat memeluknya. Dan kini tanganku hampa tanpa genggamnya.
"Gama maafkan aku. Selamat tinggal. Aku mencintaimu. ." Aku hilang bersama hembusan angin yang mengantarkan temaramnya senja pada gelapnya malam.
*Sore ke 12*
"Aku mencintaimu juga, Senja. ."
Senja roboh dipelukan Gama bersamaan dengan selesainya kalimat itu. Gama panik bukan main, wajah Senja pucat pasi. Nafasnya lemah lebih lemah daripada seseorang yang kekurangan oksigen. Darah segar mengalir dari hidungnya. Gama menggendong Senja dengan tergesa.
"Jangan saat ini Tuhan. Jangan, kumohon beri sedikit waktu lagi." sesuatu mengalir dari kelopak mata Gama, air mata. Sejak awal perkenalan, Gama tau bahwa Senja menderita kanker otak. Gama adalah dokter disebuah rumah sakit swasta yang sering didatangi Senja. Gama sering memperhatikannya, dan dia jatuh cinta. Senja tidak pernah tau siapa Gama. Senja tidak tau bahwa Gama mencintainya jauh sebelum Senja mencintai Gama. Dan Senja tidak tau bahwa rencana pernikahan itu sudah disiapkan oleh Gama. Dan hari inilah, sore ke 12. Gama ingin melamar Senja. Secepat itu pernikahan pada perkenalan hari ke 12? Tidak. Karena Gama sudah satu tahun memantau gadis itu. Hanya saja Senja tidak pernah tau.
"Tolong, lakukan apapun untuk membuatnya terbangun." Gama memohon pada dokter seniornya.
"Sudah terlambat. Lebih baik kuatkan mentalmu." Dokter senior itu berlalu meninggalkan Gama yang mulai berlari menuju ruangan Senja. Tangisnya pecah disana. Gama menggenggam tangan Senja.
"Senjaaa, will you marry me? Senjaaaaaaa." Gama berteriak berusaha untuk membangunkannya. Berharap bahwa masih ada nafas disana. Berharap bahwa Senja masih dapat mendengarnya. Tapi tetap saja percuma karna Senja hanya diam tak bergerak sedikitpun. Dipeluknya tubuh Senja, berharap bahwa Senja masih bisa merasakan hangat peluknya dan deru nafasnya.
"Senja, aku mencintaimu. Sungguh aku mencintamu."
Ada yang Senja tinggalkan untuk Gama, yaitu sebuah puisi. Entah kapan Senja menulisnya, dia saja tidak ingat.
(Puisi Senja)
Berdiri ku disini
Diatas temaramnya senja yang bersiluet namun jingga
Aku melayang diantara angin
Mengambang dibebukitan tinggi
Tidak pernah setenang ini
Tidak pernah sesunyi ini
Namun ku dengar jeritan duka melambai
Ku lihat air mata penuh kehilangan
Aku termangu. Sudahkah ini waktunya?
Aku tak menangis. Aku tak bersedih
Bahkan langkahku ringan sekali
Berapa banyak air mata yang tertumpahkan?
Padahal aku disini tak menyedihkan
Lalu apa yang kamu tangisi?
Kepergian atas ragaku? Atau kepergian atas hilangnya jiwaku?
Terisak tangis jeritanmu
Aku tak menahu. Aku tak mengerti
Bukankah aku memang harus pergi?
Tuhanku lebih menginginkanku
Bukankah ini memang sudah takdir?
Lalu apa yang kamu tangisi?
Kesedihanku berakhir
Lukaku tak kurasa lagi
Tangisku sudah habis
Seharusnya kamu berbahagia karena kepergianku
Lihatlah aku baik-baik saja
Tuhanku menjagaku disini
Tangis sedihmu hanya luka untukku
Ragaku pergi, namun aku sudah menitipkan sedikitnya separuh cinta
Bukan karena apa tapi kamu bisa menyimpannya untuk dikenang
Dan kamu mencintaiku? Akupun mencintaimu bahkan sangat
Namun cintamu tak sebanding dengan cinta Tuhan terhadapku. . Senjaku..
Lepaskan deru nafas yang memberatkanmu
Biarkan dia hilang bersama hembusan angin malam
Membaur dengan daun yang melambai sunyi
Senjaku..
Pejamkan mata yang mulai melelah
Gelapkan bersama dengan malam tanpa bintang
Biarkan dia hampa dipelataran siluet malam
Menyepi bersama mimpi
Senjaku..
Pergilah dengan langkah ringan
Bawalah harapan tinggalkan kenangan
Biarlah lukamu mengering bersama tanahmu
Biarlah tangismu terhapus kain putihmu
Senjaku..
Lupakan sakitmu
Biarlah dia lenyap disapu kemenangan
Allah telah memenangkanmu
Membawamu pulang kedalam peluk-Nya
Senjaku..
Bersama kepergianmu aku memelukmu dengan do'a
Bersama rasa kehilanganku aku mengikhlaskanmu
Senjaku..
Kalau aku rindu tolong hadir disunyinya mimpiku
Aku mencintaimu
"Hemm menyedihkan.." gumamnya. Seorang gadis berdiri disamping pemakaman Senja sedang memegang kertas kumal yang telah terkena tanah. Karena keingintauannya pada apa yang menarik matanya dengan lancang dia membuka kertas yang tadinya terlipat diatas pemakaman Senja. Dan karena rasa penasarannya mengapa ada seikat balon warna-warni serta bunga mawar hijau disana. Ini pemakaman apa tempat ulangtahun. Otaknya memutar memikirkan siapa orang yang menulis dan menaruh ini semua disini. Tadi, tidak sengaja gadis itu sedang mencari objek untuk menulis dan sepedanya membawanya ke pemakaman ini hingga memaksa gadis ini untuk berkeliling sebentar saja melihat apa yang ada dipemakaman ini. Ini pemakaman biasa sama seperti pemakaman pada umumnya. Namun satu makam yang menarik mata gadis itu adalah pemakaman Senja. Aneh, ada balonnya. Itulah yang menyebabkan dia sekarang ini berdiri disamping makam Senja dan memegang puisinya.
"Ini sudah hampir 9tahun dia meninggal. Tapi balon, bunga dan surat ini seperti baru kemarin disimpan disini." pikirnya.
Dia menyalin puisinya ke dalam buku kecil yang selalu ia bawa. Menaruh kembali kertas diatas gundukan tanah bertabur bunga disamping seikat bunga mawar hijau. Langkahnya menjauh, otaknya kepo akut.
"Udah puas bawa gue kesini? Lucu lo nyuruh gue ke pemakaman." Dia bicara dengan siapa? Dengan sepedanya. Aneh, tapi itu dia. Dia dan sepeda tidak terpisahkan. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Okesip ini seperti orang gila, hem.
"Ayok jalan!" Dia menaiki sepedanya dan mengayuhnya ke arah jalan besar. Kemejanya bersliweran terkena angin. Rambutnya tidak dibiarkan terurai namun dikuncir satu, berponi lebat untuk menutupi jidatnya yang lebar. Matanya bulat coklat bersinar. Hidungnya tidak pesek, oke dia mancung. Dia memakai kaos dibalut dengan kemeja kotak-kotak warna biru dongker. Celana pendek selutut dan sepatu vans warna biru dongker dipadu warna putih dengan kaos kaki pendek yang hampir tenggelam. Sepedanya berwarna biru muda putih, berkeranjang didepan. Ohiya, dia memakai tas punggung kecil. Dan tadi sebelum keluar dari pemakaman dia berpapasan dengan seorang lelaki. Yang terlihat lebih dewasa darinya dan lebih tinggi darinya. Membawa seikat balon warna-warni dengan seikat bunga mawar warna hijau, terselip kertas disana dibunga itu. Kertas yang sama seperti yang ia lihat dipemakaman Senja. Laki-laki itu berlalu dari hadapannya. Gadis itu berbalik, matanya mengikuti langkah kaki itu sampai pada pemakaman Senja. Disana, balon yang lama dilepas ke langit diganti balon baru. Bunga lama ditaburkan diatas gundukan tanah diganti bunga baru. Kertasnya ia ambil dan ia simpan disakunya, diganti dengan kertas baru pula. Apa dia melakukan ini setiap hari selama hampir 9 tahun? Sungguh ini gila, pikirnya. Dia masih mengayuh, membayangkan pertemuan tak sengaja tadi. Sebegitu berharganya kah Senja bagi lelaki itu? Apa tidak ada perempuan lain didunia ini? Hampir 9 tahun dia tetap menemui kekasihnya, dipemakaman. Bahkan kisah cinta ini lebih menyedihkan dari romeo dan juliet yang mati bersama. Mereka saling mencintai, didunia yang berbeda. Gadis itu menghentikan kayuhannya.
"Bil, kok gue jadi sok tau gini yah? Siapa tau tadi itu temennya, atau sodaranya. Sosoan mendramatisir kisah cinta nih gue. Jatuh cinta aja gak pernah. Hem" jelasnya pada sepeda kesayangannya. Pikiranya berkecamuk. Antara kepo akut dan bingung. Bingung kenapa dia tidak pernah jatuh cinta. Pernah sih, waktu smp. Suka aja, itupun tidak terungkapkan karena keburu dianya jadian sama temen. Setelah itu dia tidak pernah lagi mau suka. Rasanya malas, buang-buang waktu. Padahal dia gak sibuk-sibuk amat hidupnya. Hobinya ngeblog, post cerpen atau puisi. Kadang dikirim juga ke koran. Dia sekarang berusia 21 tahun. Sudah dewasa kan? Tapi sayang dia pendek dan mungil. Hanya sekitar 160cm. Sedangkan lelaki tadi, kekasih senja. 15cm lebih tinggi dari gadis ini. Gadis ini memarkirkan sepedanya didepan kos-kosan setelah tadi membuka gerbang yang tingginya hanya 120cm. Dia merebahkan tubuhnya diatas kursi panjang reot yang terbuat dari kayu. Ini kosan perempuan. Sudah hampir 21 tahun dia disini. Iya, sejak lahir. Dia adalah anak angkat ibu kos. Mengapa anak angkat? Entah.
"Neng, udah pulang?" Suaranya sedikit membuat gadis itu terkejut.
"Eh ibu, udah atuh bu ini eneng disini." Gadis itu membalasnya. Dialah ibu angkatnya. Neng adalah panggilan buat perempuan disunda. Mereka berbincang, bercengkrama bersama. Senja sebenarnya sudah lewat saat gadis itu melihat lelaki itu dipemakaman. Ini sudah petang. Keesokannya dia mengayuh sepedanya. Entah kemana dia hanya menuruti apa keinginan bibil, sepedanya.
"Kemana sih, bil?" tanyanya sembari membungkukan badan ke depan seolah benar-benar bertanya pada sepedanya. Dia oleng saat ada bunyi klakson mobil. "Gubrak!" Kira-kira bunyinya gitulah.
"Anjir songong tuh mobil, gue kaget." ketusnya. Dia berusaha berdiri sendiri sambil membangunkan bibil. Mobil yang membuatnya terjatuh berhenti 10m didepannya. Pemiliknya keluar, seorang lelaki yang tinggi menggunakan kaos kiddrock ori, inget yah ori. Dia kenal wajahnya, wajah yang ia temui dipemakaman. Em, ada yang belum jelas disini. Lutut gadis itu berdarah. Lelaki itu menghampirinya, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gadis itu juga ikut menatap badannya sendiri dan berfikir, "What's wrong?" batinnya.
"Sepatu kw." celetuk lelaki itu lalu berbalik meninggalkan gadis itu sendirian.
"Hah?" Mulutnya menganga selebar mungkin menatap tubuh lelaki itu yang mulai menjauh, memasuki mobilnya hingga mobilnya hilang dari pandangannya. Hatinya dongkol, sedongkol-dongkolnya. Diklakson sampe jatuh sampe lututnya luka pas disamperin bukannya ditolongin malah ngatain sepatunya kw. Ya, memang sih. Tapi apa salahnya sama sepatu kw yang dia pakai? Beli sepatu mahal-mahal ujungnya juga diinjek, dipakenya dikaki bukan dikepala.
Gadis itu cuman manyun, sadar diri aja dia mah. Memang benar kok sepatunya kw tapi setidaknya dia masih pakai sepatu daripada anak jalanan yang sandal saja mereka tidak punya.
"Kita bakal ketemu lagi Mr. Puitis!" celetuknya. Sepedanya cuman diem tidak menanggapi omongan majikannya. "Gubrak" lagi. Gadis itu jatuh karena menabrak seseorang. Tapi bukan terjatuh dijalanan seperti minggu kemarin, tidak sampai terluka dilututnya. Gadis itu terbangun sedangkan yang ditabraknya berdiri didepannya menatapnya dengan penuh hina.
"Gotcha! Kita ketemu lagi Mr. Puitis." batinnya.
Lelaki itu, memakai jas putih seperti dokter pada umumnya. Gadis itu tau, karena dia mencari tau. Nah kan kepo akutnya kumat. Dan gadis itu kini tau nama lelaki itu, Gama. Lebih tua 10 tahun darinya.
Iya, dia kekasih Senja. Nama yang dia jumpai dipemakaman minggu lalu. Dia mencari tau sedetailnya, entah darimana saja tapi dia akhirnya tau. Gama berlalu, tapi terhenti sejenak saat gadis itu memanggil namanya, "Pak Gama!" teriaknya, dirumah sakit. Gama berbalik, mengangkat alisnya tanda bahwa dia menjawab "Apa?".
"Pak Gama udah bikin lutut saya berdarah minggu kemaren, tadi nabrak saya sampe saya jatuh. Pak Gama gak akan minta maaf ke saya?" Kening Gama berkerut, "Siapa gadis ini, dasar bocah!" Gama tidak terlalu memperdulikan gadis itu. Dia berbalik, sebelumnya dia menatap gadis itu lekat-lekat. Hanya matanya, yang mampu mengingatkan Gama pada Senja. Gama berlalu meninggalkan gadis itu. Dia lagi-lagi melongo.
"Anjiiirrr itu cowok cuek bangetsih!!!" gerutunya. "Awas aja lo Pak Gama. Lo bakal jatuh cinta sama gue secepat lo jatuh cinta sama Senja!". Terlalu percaya diri nih anak. Memangnya secepat apa Gama jatuh cinta pada Senja? Gama kan memperhatikan Senja selama hampir satu tahun. Sedangkan gadis ini dilihat saja tidak, mana bisa Gama tertarik padanya. Benar-benar over PD.
Langkahnya mengikuti kemana arah Gama pergi tadi. Dan dia berhenti disebuah ruangan, menurut informasi yang tadi dia tanyakan Gama sedang mengecek pasiennya. Gama dokter spesialis kanker. Semenjak Senja pergi dari kehidupannya dia tidak mau oranglain merasakan kehilangan seperti dirinya, kehilangan orang yang sangat disayanginya sebelum kebahagiaan mengiringi mereka berdua. Sebelum mereka mengikat janji setia sehidup semati selamanya. Dan semenjak Senja pergi pula dia tidak pernah untuk mencoba jatuh cinta. Hatinya sudah disita untuk Senja seorang. Hanya dan selamanya tetap Senja, katanya.
Gama keluar dari ruangan pasien, disambut seorang gadis yang tadi menabraknya. Dia nyengir lebar, menunjukan ekspresi wajah tanpa dosa.
"Mau apa kamu?" tanya Gama.
"Pak Gama harus membelikan saya ice cream sebagai permintaan maafnya." celetuknya.
Gama hanya mengerutkan keningnya. "Kalau saya belikan ice creamnya. Jangan ganggu saya lagi."
Gadis itu mengangguk, "Siap pak Gama!" memberi tanda hormat seperti pemimpin upacara kepada pembinanya. Gama tersenyum, setelah ditinggal Senja 9 tahun lalu. Dia tidak pernah tersenyum lagi seperti itu. Seorang gadis yang sesuatu. Mungkinkah gadis ini yang akan membuat Gama jatuh cinta kembali? Dan apakah Gama orang yang akan membuat gadis ini jatuh cinta?
"Jadi nama kamu nafa?" tanyanya.
"Iya Pak Gama" jawabnya sambil memakan ice cream cornettonya. Matanya terlalu fokus pada ice creamnya. Hingga dia tidak sadar kalau Gama memperhatikan caranya memakan ice cream. Kekanakan tapi lucu.
"Setelah ini kamu boleh mengganggu saya lagi." Nafa berhenti memakan ice creamnya, menengok ke arah Gama.
"Lo berubah pikiran Pak Gama?" tanyanya, dan mulutnya tetap sempat-sempatnya mampir ke ice creamnya. Dan tidak sopan sekali, memanggil Gama dengan sebutan "Lo" padahal Gama kan 10 tahun lebih tua daripada dirinya. Gama hanya terdiam menatap lekat pada mata Nafa. Mata itu, mata yang selalu ingin Gama tatap. Mata yang membuat Gama jatuh cinta. Mata yang membuat Gama rindu setengah mati. Nafa mengerutkan keningnya. "Ada apa Pak Gama?" tanyanya heran. Dengan cepat Gama mengalihkan pandangannya. Tidak secepat ini menemukan yang baru. Dia tidak seistimewa Senjaku, batinnya.
"Hollaaa Pak Gamaaaaa!" teriaknya. Gama menutup telinga dan matanya.
"Berisik!" balasnya. Nafa manyun.
Gama menahan senyumnya.
"Demi Tuhan anak ini lucu sekali." batinnya. Nafa yang sibuk dengan ice creamnya yang hampir habis tetap saja manyun.
"Dasar somplak!" gerutunya.
"Kamu bilang apa?" Nafa menoleh lalu menggeleng, "Gak ih."
"Ya sudah. Saya mau ke Rumah Sakit lagi. Permintaan maaf saya lunas." Gama berdiri dari kursi panjang ditaman itu. Menjauh dari tempat itu. Saat sudah hampir 20 meter dia membalikan badannya.
"Nafaaaa" teriaknya.
"Iyaaa?" jawabnya heran mendengar si dokter puitis itu berbalik lalu berteriak memanggil namanya.
"Datang pada saya lagi. Kapan pun kamu mau." Nafa melongo, Gama berbalik lalu setengah berlari menjauh dari tempat itu. Hatinya entah kenapa, ada sesuatu yang beda. Setelah Gama berbicara seperti itu. "Apa gue dikasih kesempatan buat ngegantiin Senja?" pikirnya. "Eh, gue kenapa yah. Kok rada seneng-seneng gimana gitu. Digituin jadi kaya ada manis-manisnya gitu hehehe."
Nafa mengayuh sepedanya dengan riang. Setelah pertemuannya dengan Gama waktu itu dia jadi sering ke rumah sakit. Sosoan ikut ngerawat pasien Gama padahal modus. Bibil juga mencium aroma kasmaran, wanginya menyengat. Bibil sampe enek karena itu sudah berlangsung hampir tiga minggu. Iya, sudah hampir sebulan sejak Nafa melihat Gama dipemakaman.
Semenjak itu pula mereka berdua dekat.
"Siang Pak Gama" sapanya. Gama menoleh lalu tersenyum.
"Tumben telat biasanya lebih awal." Nafa hanya nyengir kuda. Style pakaiannya tetap sama saat awal perkenalan mereka. Rambutnya tetap dikuncir satu dan satu lagi, wajahnya polos tanpa goresan make up.
"Ayok makan.." ajak Gama, Nafa mengangguk lalu mengikuti langkah Gama.
Mereka melaju ke sebuah restoran menggunakan mobil Gama, sepedanya ditinggal diRumah Sakit. "Gue udah biasa diginiin, tenang aja gue strong kok :')" Ini bibil yang ngomong. Mereka duduk, memesan makanan.
"Nanti aku kenalin kamu ke bunda yah." jelas Gama. Nafa cuman senyum-senyum aja nanggepinnya. "Gue bilang juga apa? Dia bakal jatuh cinta sama gue secepat dia jatuh cinta sama Senja." batinnya.
"Gama!" suara itu membuat mereka berdua menoleh. Seorang perempuan, sudah tua tapi dia kayaknya ibu-ibu sosialita. Terlihat dari pakaian dan perhiasan yang dia pakai. Bisa ditebak itu ibu Gama.
"Ngapain kamu disini?" Nada suaranya meninggi, orang disekitar mulai memperhatikan.
Gama hanya diam. Kalau bisa ditebak kayaknya Gama takut sama ibunya. Nafa tidak berkutik.
"Siapa dia?" tangannya menunjuk Nafa, pandangan matanya menyiratkan kebencian yang amat dalam. Padahal itu pertama kalinya beliau melihat Nafa.
"Anak dari saudagar mana dia? Keturunan mana dia? Apa jabatan ayah dan ibunya?." Pertanyaan yang bertubi-tubi yang berhasil membuat hati Nafa remuk seketika, matanya berkaca-kaca namun sebisa mungkin dia menahannya.
"Bunda sudah, ini tempat umum." Gama berusaha menghentikan ibunya karena dia yakin pasti Nafa terluka dengan pertanyaan ibunya.
"Siapa namamu?" tanya ibu Gama yang sepertinya tidak mau menggubris kata-kata Gama, bahkan mereka sudah menjadi pusat perhatian.
"Nafa bu.." suaranya terdengar lirih dan hati-hati.
"Kamu, berani-beraninya mendekati anak saya? Kamu pikir kamu siapa? Kamu tidak lihat penampilan kamu macam gembel itu hah? Anak saya ini seorang dokter, sedangkan kamu. Kamu itu siapa? Anak yang asal-usulnya gak jelas." Air mata Nafa jatuh. Sungguh ini menyakitkan. Nafa bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar restoran. Sebelum Gama mencegah Nafa, dia sudah dicegah terlebih dahulu oleh ibunya.
"Jangan pernah temui gadis gembel itu. Dia tidak sepadan dengan kita. Dia berbeda dengan kita." jelas ibunya.
Gama terduduk lemas, kisah cintanya saja belum dimulai namun masalah sudah datang menimpa mereka. Gama memang belum sepenuhnya mencintai Nafa karena dia masih belum bisa melupakan Senja. Namun dia sedang berusaha dan usahanya dihadang masalah besar, ibunya.
Nafa berlari tanpa henti, langkahnya mulai melambat, dia terduduk. Hatinya sakit sekali, air matanya membanjiri pipinya. Nafa lemas, terdengar suara mobil berhenti dan seorang lelaki menghampirinya sebelum semuanya benar-benar gelap.
"Nafaa.. " tubuhnya diguncang perlahan. Matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit.
"Kamu udah bangun?" tanya seseorang.
"Loh Gama? Bunda mana?" Tanya Nafa saat matanya sudah terbuka lebar dan dia menyadari kalau dia sedang berada dimobil Gama.
"Bunda? Bunda siapa?" Gama heran mendengar pertanyaan Nafa.
"Kita udah ke restoran?"
"Belom, ini baru sampai. Ayok turun" ajak Gama.
"Anjir gue mimpi doang dong?!" batin Nafa.
"Tadi kamu tidur, aku gak tega buat bangunin jadi aku ajak muter-muter dulu baru deh kesini. Buruan turun udah hampir sore udah laper banget nih." Nafa me-lo-ngo. Gila, mimpi macam apaan itu? Kenapa bisa detail banget mimpinya? Dan gue kan belom pernah ketemu ibunya Gama. Songong nih otak gue, mimpi buruk!
Nafa mencak-mencak gak jelas. Mengutuki mimpinya tadi. Sungguh mimpi buruk. Mereka masuk restoran dan memesannya. Hanya perbincangan biasa dan tidak ada Ibu Gama. Mereka pulang, sebelum mereka kembali ke rumah sakit Gama mengajaknya ke suatu tempat, iya pemakaman. Sebelum ke pemakaman pasti sudah tau kan ritualnya? Gama membeli balon, bunga dan menulis sebuah puisi. Hari sudah hampir senja, mereka tiba dipemakaman. Kali pertamanya, Gama mengajak Nafa ke pemakaman Senja.
"Dia kekasihku.." ucap Gama saat mereka tiba dipemakaman Senja.
Nafa hanya diam, karena dia sudah tau.
"Aku mencintainya, hanya dia dan tidak akan tergantikan." Gama masih melanjutkan ucapannya. Nafa masih diam tak berkutik. Gama menghampiri makam Senja, seperti biasa mengganti semua barang yang ada disitu dengan yang baru.
"Tapi aku harus hidup karena dia juga selalu hidup tanpaku disana." lanjut Gama lagi.
"Kamu bahagia tanpaku kan Senja?"
Tanya Gama menatap pada nisan bertuliskan nama Senja itu. Gama lalu tersenyum. Nafa memperhatikan Gama. Dia tidak mengerti apa yang sedang Gama lakukan. Gama mencium nisan Senja, layaknya dia mencium kening seorang perempuan, manis dan lembut. Dia berbisik pelan, "Dia bersamaku, untukmu." Gama bangkit.
"Ayok pulang.." ajak Gama sembari menyambar tangan Nafa, lalu menggenggamnya. Kalau biasanya Gama menggenggam tangan kanan Senja, kali ini dia menggenggam tangan kiri Nafa. Senja dan Nafa tetap berbeda baginya. Nafa memperhatikan tangannya yang tergenggam lalu memperhatikan mimik wajah Gama. Datar. Tidak ada sesuatu disana. Nafa diam, bukan mulutnya saja yang terkunci karena perlakuan Gama namun hatinya juga.
"Gama please, lo gila! Tapi gue suka!" teriak batinnya.
Hari ini hari yang indah bagi Nafa. Dia mengoceh sepanjang jalan menceritakan semuanya pada bibil, dan bibil cuman bisa pasrah. Sudah sebulan Nafa ceria lebih ceria dari biasanya, dan itu karena Gama. Dirumah pun dia menceritakan semua yang ia ketahui tentang Gama pada ibunya.
"Hati-hati neng, kan baru kenalan." berkali-kali ibunya hanya mengucapkan kalimat itu. Dan Nafa selalu menjawab dengan jawaban, "Tenang bu, Gama baik gak kayak laki-laki lain." Memang benar Gama baik. Tapi Nafa belum sepenuhnya mengenal Gama. Bukannya salah jatuh cinta secepat itu hanya saja, apa Gama juga benar-benar cinta pada Nafa? Apa Gama sudah melepaskan Senja demi Nafa? Entahlah. Nafa hanya tau dia jatuh cinta pada Gama. Semakin hari mereka memang semakin dekat. Dan ketahuilah bahwa Ibu Gama tidak sejahat yang pernah Nafa impikan. Ibu Gama baik dan menyambut Nafa dengan baik dan penuh cinta. Gama tidak pernah menyatakan cinta atau mengatakan bahwa dia mencintai Nafa, tapi sikapnya menunjukan kalau dia sudah jatuh cinta pada Nafa. Begitupun Nafa, dia selalu senang saat Gama menggenggam tangan kirinya atau sekedar memeluknya sebentar. Gama mengajak Nafa ke pantai hari ini, pantai yang biasa Senja kunjungi. Mereka naik ke atas batu tinggi.
"Waaaahh gilaa pemandangannya kereeeen bangeet. Senja adalah akhir yang bahagia." Gama menoleh pada Nafa lalu tersenyum, "Senja adalah awal dari kebahagiaan." Nafa menoleh pada Gama yang tersenyum menatap padanya.
"Will you marry me?" Nafa kaget. Bukan kaget semacam habis melihat hantu. Ini kaget kebahagiaan. Nafa menutup mulutnya yang menganga, hampir berteriak dan dia mengangguk senang. Air mata kebahagiaan jatuh dipelupuknya. Entah darimana tangan Gama sudah bersiap memasangkan sebuah cincin berlian ke tangan Nafa.
"Dua hari lagi kita menikah.." Lanjut Gama. Nafa memeluk Gama, seerat Senja memeluk Gama disore ke 12. Entah Gama mencintai Nafa atau hanya karena Nafa dan Senja-nya sedikit mirip. Mereka turun dari atas batu tinggi, saling bercerita dan berencana. Dan Nafa kini tau kalau Gama sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan keluarga mereka sudah saling tau rencana Gama. Curang kenapa cuman Nafa yang tidak diberi tau? Itu kejutan. Mereka pulang menggunakan bibil. Ya, setidaknya karna Nafa senang jadi ya bibil ikutan aja senang. Hari berlalu begitu cepat, entah mengapa sangat cepat. Pesta pernikahan Gama dan Nafa begitu meriah. Gaun Nafa putih panjang, rambutnya diikat, wajahnya tetap ayu diberi goresan make up, tangannya menggenggam seikat mawar hijau.
"Aku bahagia.." bisik Nafa pada Gama. Gama mencium kening Nafa lalu berbisik, "Aku mencintaimu." untuk pertama kalinya Gama mengatakan kalau dia mencintai Nafa.
"Aku sudah tau." jawabnya. Nafa melempar bunga mawar hijaunya ke arah para tamu. Hari hampir Senja. Gama dan Nafa pamit undur diri dari semuanya, mereka menaiki mobil pengantin menuju rumah baru mereka. Jaraknya cukup lama.
"Gama.." Gama yang sedang menyetir menoleh pada Nafa yang duduk disampingnya.
"Aku juga mencintaimu.." jelasnya.
Bahaya mengobrol saat menyetir, Nafa berteriak. "Gama awas!". Sontak Gama kaget dan membanting stir ke arah kanan mengindari truk yang ada didepannya. Dan sialnya diarah kanan melaju sebuah truk berkecepatan tinggi dan bruaakkk!!! Mobil mereka terseret jauh sebelum akhirnya terguling diaspal. Mobil mereka terbalik, Nafa dan Gama berdarah. Tubuh mereka tergencet mobil. Gama belum hilang kesadaran dengan nafas yang berat dia memanggil sebuah nama, "Senjaaa.."
Gama melihat Senja sesaat sebelum semuanya benar-benar gelap. Entah bagaimana namun tangan kiri Gama menggenggam tangan kanan Nafa. Kecelakaan maut itu yang menyebabkan kebahagiaan yang belum mereka mulai namun berakhir dengan tragis. Mereka dipertemukan saat senja, dan mereka pergi diantarkan oleh senja. Gama dan Nafa meninggal dihari pernikahan mereka, saat senja hampir menghilang dan di tanggal 4 Mei 2015.
Aku mencintaimu dalam dua keadaan. Keadaan dimana aku benar-benar mencintaimu dan keadaan dimana aku membenci semua sikap dan omong kosongmu. Senja yang pernah kamu janjikan tidak seindah yang aku bayangkan. Senja kali ini lebih menyakitkan dibandingkan senja sebelumnya.
"Aku benci kamu, Gama." Setetes bulir air yang ku tahan dikelopak mata jatuh begitu saja. Lancang sekali! Padahal aku sudah melarangnya untuk jatuh namun dia tetap saja jatuh. Aku meringkuk memeluk kakiku. Tidak pernah sedingin ini sebelum kamu benar-benar pergi jauh dari kehidupanku. Keadaan yang sama persis saat kamu menghampiriku.
"Kamu kenapa?" Aku mendongak ke arah seseorang yang bertanya padaku, mengusap air mata dan hidungku menggunakan kedua tanganku lalu menggeleng pelan. Tanpa permisi dia duduk disebelahku ikut memandang laut dan tentunya senja yang hampir temaram.
"Kalau kamu menikmati senja yang temaram dengan tangisan mana indah dipandang?" Matanya tetap lurus ke depan, aku menengok ke arahnya, memperhatikan wajahnya.
Ah asing, siapa dia?
"Bodo amat" jawabku singkat.
Kulihat dia menoleh ke arahku lalu tersenyum pelan.
"Mau lihat senja yang jauh lebih indah? Besok kalau kamu mau datang lagi kesini, ditempat ini." Dia bangkit dan berlalu pergi meninggalkan aku yang sedang duduk menatap laut. Mataku memperhatikan langkahnya. Jalannya cepat lebih cepat dari orang yang sedang terburu-buru. Tapi, tadi dia bilang apa? Aku harus kesini lagi besok? Untuk apa? Memangnya dia siapa? Kita bahkan baru bersama selama 10 menit. Dan aku tidak tau namanya. Oke stop! itu tidak penting. Namun entah mengapa esoknya aku datang lagi kesini. Berjalan menyusuri pantai dengan menenteng sandal ditangan kiriku dan sesekali aku berteriak. Disini sepi sekali.
"Datang juga ternyata." Dia mengagetkanku. Aku hanya tersenyum sinis padanya. Padahal semalaman aku memikirkan dia. Sialan sekali! Aku membuang muka memandang hamparan laut, dan langit hampir senja.
"Ayok, nanti terlambat." Aku kaget. Tau apa yang dia lakukan? Menyentuh tanganku. Bukan, bukan seperti itu tapi dia menggenggam tanganku bukan jemariku tapi tangan. Dalam sekejap hatiku runtuh. Sialan, umpatku. Namun bodohnya aku hanya diam saja. Dia menarikku ke atas batu yang besar dan tinggi.
"Disini, lihat" tunjuknya.
Dengan malas ku palingkan wajahku dan percayalah ini indah sekali. Mataku tidak berhenti untuk menatap keindahannya. Tapi, entah senja temaram dengan laut tenang yang indah atau dia yang membuat semuanya menjadi indah. Aku tidak tau. Mau ku jelaskan bagaimana sosoknya? Dia tinggi, hidungnya tidak mancung dan tidak juga pesek, kulit kuning langsat, rambutnya tidak gondrong namun kalau untuk diacak-acak sepertinya bisa, dan terakhir dia punya wajah yang tidak tampan namun manis sekali. Aku gelisah diatas tempat tidurku memikirkan bagaimana hari esok akan terjadi namun seperti yang dia katakan bahwa besok adalah kejutan. Sore tadi adalah hari kedua aku mengenalnya dan kini aku tau namanya, Gama. Sebelum aku mengetahui namanya, aku sudah jatuh cinta padanya. Setiap sore, kita menatap senja diatas batu tinggi atau di pantai duduk diatas pasir. Ini baru sore ke-12 yang kita lewati bersama. Genggaman tangannya erat, seerat perasaanku padanya. Namun dia tidak pernah mengatakan apapun tentang perasaannya padaku, begitupun sebaliknya. Tapi dia bersikap seolah dia mencintaiku.
"Nanti kita kalau nikah disini yah, disaksikan senja temaram dengan laut tenang dan langit yang oranye" jelasnya datar. Bagaimana rasanya? Apa kau pernah merasakannya? Sungguh walaupun itu hanya gurauan aku berharap kalau itu benar-benar terjadi. Bukankah orang jatuh cinta memang seperti itu? Tapi yang aku pertanyakan adalah apakah dia juga jatuh cinta padaku seperti aku sangat jatuh cinta padanya?
"Ayok pulang" seperti biasanya dia menggenggam erat jemari kananku. Entah ini genggaman ke berapa namun rasanya kali ini beda. Seperti genggaman takut kehilangan. Erat namun dingin.
"Aku tidak tau apakah kita akan terus seperti ini. Tapi kalau aku pergi apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya tetap dengan nada datar dan tenang. Dia memang seperti itu.
"Seperti kata patrick pada spongebob. Aku akan menunggumu hingga kembali" jawabku tenang, yang aslinya aku was-was dan takut dengan perkataannya.
"Kalau aku tidak akan pernah kembali. Bagaimana?" Aku berhenti sejenak yang membuatnya ikut berhenti, dia menatapku dan tetap menggenggam tanganku.
"Aku akan tetap. . . menunggumu" jawabku. Dia melepaskan genggamanya, menatapku penuh arti dan aku tidak tau artinya, lalu dia mundur perlahan sekitar lima langkah yang panjang. Tau apa yang dia lakukan? Merentangkan kedua tangannya. Mata dan kepalanya mengkodeku untuk menyambut rentangan tangan itu. Aku berlari kecil dan. . . rasanya hangat. Aku memeluknya erat diatas pasir dengan ombak yang menabrakan dirinya ke karang dan juga senja yang sudah hampir hilang. Dia balas memelukku. Pelan, lembut aku merasakan detak jantungnya yang tidak beraturan menyatu dengan nafasnya diatas kepalaku. Angin pantai yang dingin tidak bisa mengusikku kali ini. Aku tau pasti dia marah karena sekarang aku hangat dalam dekapan Gama. Orang yang aku cintai.
"Jangan pernah merasa kedinginan lagi. Pelukku akan selalu bersamamu meski kamu tidak menyadarinya." Aku tidak sepenuhnya mengerti karena aku hanyut dalam peluknya.
"Aku mencintaimu juga, Senja." tambahnya. Aku melepas peluknya dan menatap matanya berusaha mencari tau apa yang dia katakan itu benar atau hanya gurauan semata. Namun tetap aku tidak pernah mengerti arti dari tatapan itu.
"Ayok pulang" ajaknya sembari kembali menggenggam jemariku yang tadi sempat terlepas. Aku tidak tau tapi aku lega.
Sore ke 13. Aku berdiri menatap senja temaram yang sebentar lagi hilang. Dia belum datang kesini. Mungkin dia sibuk. Aku pulang dengan tangan hampa yang tidak digenggam. Sore berikutnya, seterusnya aku menantinya hadir menemuiku ditemaramnya senja. Namun hingga hari ini. Sore yang harusnya ke 213 bersamanya tetap sama, kosong. Aku berdiri menghapus air mataku dan hidungku dengan tanganku. Secepat angin pantai aku jatuh cinta, selamban ombak meruntuhkan karang aku melepasnya. Dia hadir seperti senja, indah namun sekejap. Dan ini menyakitkan saat aku sudah mengetahui dia mencintaiku lalu dia pergi begitu saja tanpa aku tau dia kemana. Siluet terindah dalam hidupku. Aku membencimu, pada setiap omong kosongmu tentang rencana pernikahan kita namun aku jauh lebih mencintaimu saat kamu duduk disebelahku untuk pertama kalinya. Keadaanku saat ini, hanya rindu. Itu saja. "Kenapa?" tanyanya sembari menatap hangat mataku. Aku menggeleng pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat didepan mataku. Hari ini, tepat sore ke 1000. Dan dia kembali saat aku sedang termangu menatap temaramnya senja yang hampir menghilang diujung laut. Dia kembali lagi diantarkan oleh senja yang hampir menghilang, sama seperti saat dia pergi meninggalkanku disore ke 12. Aku masih berdiri, masih diam membisu. Rindu ini, rindu yang aku tahan sejak kepergiannya waktu itu. Rindu yang terkumpul sekarang hampir pecah begitu saja. Air mataku mengambang. Entah ini apa, yang jelas aku hanya rindu, itu saja. Ada rasa bahagia dalam sudut hatiku. Ada rasa bersyukur atas penantianku selama ini. Yang rasanya mungkin bagi oranglain itu sia-sia. Dia melangkah mundur, merentangkan tangannya selebar mungkin. Aku tidak sanggup sungguh tidak sanggup untuk tidak memeluknya saat ini. Aku berhamburan ke arahnya. Air mata bahagia terus keluar dari mataku. Isakan tangis terdengar seperti tawa yang terdengar nyaring. Ini bahagia. Tuhan aku bahagia, terimakasih telah mengembalikan dia padaku saat ini. Jangan biarkan dia pergi lagi, sungguh aku menyayanginya. Pelukan ini lebih nyaman dari pelukan pertama. Deru nafas ini lebih tenang dan menenangkan.
Dia melepas pelukku darinya "Rindu?" tanyanya singkat dan tenang. Aku mengangguk, "Tidak pernah sehebat ini." maksudku tidak pernah aku merasakan rindu seperti ini. Rindu yang sangat hebat. Sekarang kita disini, diatas batu tinggi ditemani gelap malam dengan terang bulannya. Dia seperti biasa, duduk disamping kananku menggenggam tanganku. Menatap hamparan laut tak bertepi ditengah kegelapan dan kesunyian. Namun tidak begitu sunyi karena ombak tidak pernah tidur, dia tidak letih untuk menghantamkan tubuhnya pada karang dipantai. Sulit untuk dijelaskan bagaimana bahagianya aku. Kebencian yang pernah aku jelaskan hanyalah bualan semata. Aku tidak pernah benar-benar membenci kepergiannya dan rencananya. Aku hanya membenci mengapa waktu memisahkan aku dengannya. Tapi hari ini aku tidak peduli lagi karena dia disampingku, menggenggam tanganku.
"Ayok pulang!" aku menoleh dan menganggukan kepalaku sebagai tanda setuju. Aku bangkit, dia juga. Aku menatapnya dibawah sinar rembulan. Wajahnya tetap sama, tetap manis. Namun aku merasa tiba-tiba gelap semakin menyelimuti dan entahlah aku tidak tau apa yang terjadi lagi. Sayup ku dengar dia memanggil namaku tapi terasa sangat jauh sekali anehnya aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Senja, aku mencintaimu. ." mataku mulai terbuka. Cahaya disini menyilaukan mataku. Tempat yang indah seperti surga kah? Tapi aku tidak melihat siapa-siapa disini. Dan ku lihat aku memakai gaun berwarna putih yang menawan dan aku mulai berfikir.
"Sejak kapan aku punya gaun dan sepatu indah ini? Dan mengapa rambutku terurai panjang?" Aku celingukan. Tuhan ini dimana? Jangan membuatku takut. Segera bangunkan aku jika ini mimpi. Beberapa kali ku pejamkan mata dan membukanya aku tetap menatap tempat yang sama. Aku memejamkan lagi mataku untuk waktu yang lama. Aku dengar sesuatu, "Senja. . ."
Gotcha! Aku membuka mataku. Dan aku melihat Gama membelakangiku. Untuk apa dia ditempat ini? Kalian tau ini dimana? Dipemakaman. Aku mendekatinya, namun tiba-tiba angin seperti menghadangku. Aku terjatuh namun tidak sakit. Dan aku baru sadar kalau aku sedari tadi melayang tidak menginjak tanah. Aku terdiam untuk beberapa saat. Apa aku sudah pergi? Kapan? Mengapa aku tidak sadar? Lalu kenapa sekarang aku seperti ini? Bagaimana ini bisa terjadi padaku? Aku terjatuh, terduduk kali ini ke tanah. Aku menangis sejadinya disini. Saat Gama berbalik meninggalkan pemakaman aku melihat namanya dipapan itu. Senja, 4 Mei 2006. Itu adalah tanggal dimana Gama memelukku untuk yang kali pertamanya. Itu adalah tanggal dimana dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku menangis lebih keras lagi saat Gama melewatiku seperti angin. Tembus begitu saja.
Tangisku tak terdengar oleh Gama. Jeritku seperti hembusan angin, kosong. Mengapa semuanya bisa jadi seperti ini? Lalu apa yang terjadi selama ini? Aku mimpi didalam kematianku sendiri? Sungguh ini lebih menyakitkan. Bahkan aku tidak tau kapan aku pergi meninggalkan dunia. Bahkan aku belum mengucapkan selamat tinggal pada Gama. Sebenarnya ini apa? Tuhan tolong jelaskan semuanya. Tuhan tolong tunjukan semuanya. Aku meringkuk memeluk kedua kakiku, membenamkan seluruh wajahku. Sungguh aku tidak percaya pada apa yang ku lihat saat ini. Ku pikir Gama yang meninggalkanku. Tapi nyatanya hari ini aku tau, bahwa aku yang meninggalkan Gama sendirian bahkan lebih jauh aku pergi dan tidak akan mungkin untuk bisa kembali lagi. Dan aku sedih, kini ragaku sudah tak dapat memeluknya. Dan kini tanganku hampa tanpa genggamnya.
"Gama maafkan aku. Selamat tinggal. Aku mencintaimu. ." Aku hilang bersama hembusan angin yang mengantarkan temaramnya senja pada gelapnya malam.
*Sore ke 12*
"Aku mencintaimu juga, Senja. ."
Senja roboh dipelukan Gama bersamaan dengan selesainya kalimat itu. Gama panik bukan main, wajah Senja pucat pasi. Nafasnya lemah lebih lemah daripada seseorang yang kekurangan oksigen. Darah segar mengalir dari hidungnya. Gama menggendong Senja dengan tergesa.
"Jangan saat ini Tuhan. Jangan, kumohon beri sedikit waktu lagi." sesuatu mengalir dari kelopak mata Gama, air mata. Sejak awal perkenalan, Gama tau bahwa Senja menderita kanker otak. Gama adalah dokter disebuah rumah sakit swasta yang sering didatangi Senja. Gama sering memperhatikannya, dan dia jatuh cinta. Senja tidak pernah tau siapa Gama. Senja tidak tau bahwa Gama mencintainya jauh sebelum Senja mencintai Gama. Dan Senja tidak tau bahwa rencana pernikahan itu sudah disiapkan oleh Gama. Dan hari inilah, sore ke 12. Gama ingin melamar Senja. Secepat itu pernikahan pada perkenalan hari ke 12? Tidak. Karena Gama sudah satu tahun memantau gadis itu. Hanya saja Senja tidak pernah tau.
"Tolong, lakukan apapun untuk membuatnya terbangun." Gama memohon pada dokter seniornya.
"Sudah terlambat. Lebih baik kuatkan mentalmu." Dokter senior itu berlalu meninggalkan Gama yang mulai berlari menuju ruangan Senja. Tangisnya pecah disana. Gama menggenggam tangan Senja.
"Senjaaa, will you marry me? Senjaaaaaaa." Gama berteriak berusaha untuk membangunkannya. Berharap bahwa masih ada nafas disana. Berharap bahwa Senja masih dapat mendengarnya. Tapi tetap saja percuma karna Senja hanya diam tak bergerak sedikitpun. Dipeluknya tubuh Senja, berharap bahwa Senja masih bisa merasakan hangat peluknya dan deru nafasnya.
"Senja, aku mencintaimu. Sungguh aku mencintamu."
Ada yang Senja tinggalkan untuk Gama, yaitu sebuah puisi. Entah kapan Senja menulisnya, dia saja tidak ingat.
(Puisi Senja)
Berdiri ku disini
Diatas temaramnya senja yang bersiluet namun jingga
Aku melayang diantara angin
Mengambang dibebukitan tinggi
Tidak pernah setenang ini
Tidak pernah sesunyi ini
Namun ku dengar jeritan duka melambai
Ku lihat air mata penuh kehilangan
Aku termangu. Sudahkah ini waktunya?
Aku tak menangis. Aku tak bersedih
Bahkan langkahku ringan sekali
Berapa banyak air mata yang tertumpahkan?
Padahal aku disini tak menyedihkan
Lalu apa yang kamu tangisi?
Kepergian atas ragaku? Atau kepergian atas hilangnya jiwaku?
Terisak tangis jeritanmu
Aku tak menahu. Aku tak mengerti
Bukankah aku memang harus pergi?
Tuhanku lebih menginginkanku
Bukankah ini memang sudah takdir?
Lalu apa yang kamu tangisi?
Kesedihanku berakhir
Lukaku tak kurasa lagi
Tangisku sudah habis
Seharusnya kamu berbahagia karena kepergianku
Lihatlah aku baik-baik saja
Tuhanku menjagaku disini
Tangis sedihmu hanya luka untukku
Ragaku pergi, namun aku sudah menitipkan sedikitnya separuh cinta
Bukan karena apa tapi kamu bisa menyimpannya untuk dikenang
Dan kamu mencintaiku? Akupun mencintaimu bahkan sangat
Namun cintamu tak sebanding dengan cinta Tuhan terhadapku. . Senjaku..
Lepaskan deru nafas yang memberatkanmu
Biarkan dia hilang bersama hembusan angin malam
Membaur dengan daun yang melambai sunyi
Senjaku..
Pejamkan mata yang mulai melelah
Gelapkan bersama dengan malam tanpa bintang
Biarkan dia hampa dipelataran siluet malam
Menyepi bersama mimpi
Senjaku..
Pergilah dengan langkah ringan
Bawalah harapan tinggalkan kenangan
Biarlah lukamu mengering bersama tanahmu
Biarlah tangismu terhapus kain putihmu
Senjaku..
Lupakan sakitmu
Biarlah dia lenyap disapu kemenangan
Allah telah memenangkanmu
Membawamu pulang kedalam peluk-Nya
Senjaku..
Bersama kepergianmu aku memelukmu dengan do'a
Bersama rasa kehilanganku aku mengikhlaskanmu
Senjaku..
Kalau aku rindu tolong hadir disunyinya mimpiku
Aku mencintaimu
"Hemm menyedihkan.." gumamnya. Seorang gadis berdiri disamping pemakaman Senja sedang memegang kertas kumal yang telah terkena tanah. Karena keingintauannya pada apa yang menarik matanya dengan lancang dia membuka kertas yang tadinya terlipat diatas pemakaman Senja. Dan karena rasa penasarannya mengapa ada seikat balon warna-warni serta bunga mawar hijau disana. Ini pemakaman apa tempat ulangtahun. Otaknya memutar memikirkan siapa orang yang menulis dan menaruh ini semua disini. Tadi, tidak sengaja gadis itu sedang mencari objek untuk menulis dan sepedanya membawanya ke pemakaman ini hingga memaksa gadis ini untuk berkeliling sebentar saja melihat apa yang ada dipemakaman ini. Ini pemakaman biasa sama seperti pemakaman pada umumnya. Namun satu makam yang menarik mata gadis itu adalah pemakaman Senja. Aneh, ada balonnya. Itulah yang menyebabkan dia sekarang ini berdiri disamping makam Senja dan memegang puisinya.
"Ini sudah hampir 9tahun dia meninggal. Tapi balon, bunga dan surat ini seperti baru kemarin disimpan disini." pikirnya.
Dia menyalin puisinya ke dalam buku kecil yang selalu ia bawa. Menaruh kembali kertas diatas gundukan tanah bertabur bunga disamping seikat bunga mawar hijau. Langkahnya menjauh, otaknya kepo akut.
"Udah puas bawa gue kesini? Lucu lo nyuruh gue ke pemakaman." Dia bicara dengan siapa? Dengan sepedanya. Aneh, tapi itu dia. Dia dan sepeda tidak terpisahkan. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Okesip ini seperti orang gila, hem.
"Ayok jalan!" Dia menaiki sepedanya dan mengayuhnya ke arah jalan besar. Kemejanya bersliweran terkena angin. Rambutnya tidak dibiarkan terurai namun dikuncir satu, berponi lebat untuk menutupi jidatnya yang lebar. Matanya bulat coklat bersinar. Hidungnya tidak pesek, oke dia mancung. Dia memakai kaos dibalut dengan kemeja kotak-kotak warna biru dongker. Celana pendek selutut dan sepatu vans warna biru dongker dipadu warna putih dengan kaos kaki pendek yang hampir tenggelam. Sepedanya berwarna biru muda putih, berkeranjang didepan. Ohiya, dia memakai tas punggung kecil. Dan tadi sebelum keluar dari pemakaman dia berpapasan dengan seorang lelaki. Yang terlihat lebih dewasa darinya dan lebih tinggi darinya. Membawa seikat balon warna-warni dengan seikat bunga mawar warna hijau, terselip kertas disana dibunga itu. Kertas yang sama seperti yang ia lihat dipemakaman Senja. Laki-laki itu berlalu dari hadapannya. Gadis itu berbalik, matanya mengikuti langkah kaki itu sampai pada pemakaman Senja. Disana, balon yang lama dilepas ke langit diganti balon baru. Bunga lama ditaburkan diatas gundukan tanah diganti bunga baru. Kertasnya ia ambil dan ia simpan disakunya, diganti dengan kertas baru pula. Apa dia melakukan ini setiap hari selama hampir 9 tahun? Sungguh ini gila, pikirnya. Dia masih mengayuh, membayangkan pertemuan tak sengaja tadi. Sebegitu berharganya kah Senja bagi lelaki itu? Apa tidak ada perempuan lain didunia ini? Hampir 9 tahun dia tetap menemui kekasihnya, dipemakaman. Bahkan kisah cinta ini lebih menyedihkan dari romeo dan juliet yang mati bersama. Mereka saling mencintai, didunia yang berbeda. Gadis itu menghentikan kayuhannya.
"Bil, kok gue jadi sok tau gini yah? Siapa tau tadi itu temennya, atau sodaranya. Sosoan mendramatisir kisah cinta nih gue. Jatuh cinta aja gak pernah. Hem" jelasnya pada sepeda kesayangannya. Pikiranya berkecamuk. Antara kepo akut dan bingung. Bingung kenapa dia tidak pernah jatuh cinta. Pernah sih, waktu smp. Suka aja, itupun tidak terungkapkan karena keburu dianya jadian sama temen. Setelah itu dia tidak pernah lagi mau suka. Rasanya malas, buang-buang waktu. Padahal dia gak sibuk-sibuk amat hidupnya. Hobinya ngeblog, post cerpen atau puisi. Kadang dikirim juga ke koran. Dia sekarang berusia 21 tahun. Sudah dewasa kan? Tapi sayang dia pendek dan mungil. Hanya sekitar 160cm. Sedangkan lelaki tadi, kekasih senja. 15cm lebih tinggi dari gadis ini. Gadis ini memarkirkan sepedanya didepan kos-kosan setelah tadi membuka gerbang yang tingginya hanya 120cm. Dia merebahkan tubuhnya diatas kursi panjang reot yang terbuat dari kayu. Ini kosan perempuan. Sudah hampir 21 tahun dia disini. Iya, sejak lahir. Dia adalah anak angkat ibu kos. Mengapa anak angkat? Entah.
"Neng, udah pulang?" Suaranya sedikit membuat gadis itu terkejut.
"Eh ibu, udah atuh bu ini eneng disini." Gadis itu membalasnya. Dialah ibu angkatnya. Neng adalah panggilan buat perempuan disunda. Mereka berbincang, bercengkrama bersama. Senja sebenarnya sudah lewat saat gadis itu melihat lelaki itu dipemakaman. Ini sudah petang. Keesokannya dia mengayuh sepedanya. Entah kemana dia hanya menuruti apa keinginan bibil, sepedanya.
"Kemana sih, bil?" tanyanya sembari membungkukan badan ke depan seolah benar-benar bertanya pada sepedanya. Dia oleng saat ada bunyi klakson mobil. "Gubrak!" Kira-kira bunyinya gitulah.
"Anjir songong tuh mobil, gue kaget." ketusnya. Dia berusaha berdiri sendiri sambil membangunkan bibil. Mobil yang membuatnya terjatuh berhenti 10m didepannya. Pemiliknya keluar, seorang lelaki yang tinggi menggunakan kaos kiddrock ori, inget yah ori. Dia kenal wajahnya, wajah yang ia temui dipemakaman. Em, ada yang belum jelas disini. Lutut gadis itu berdarah. Lelaki itu menghampirinya, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gadis itu juga ikut menatap badannya sendiri dan berfikir, "What's wrong?" batinnya.
"Sepatu kw." celetuk lelaki itu lalu berbalik meninggalkan gadis itu sendirian.
"Hah?" Mulutnya menganga selebar mungkin menatap tubuh lelaki itu yang mulai menjauh, memasuki mobilnya hingga mobilnya hilang dari pandangannya. Hatinya dongkol, sedongkol-dongkolnya. Diklakson sampe jatuh sampe lututnya luka pas disamperin bukannya ditolongin malah ngatain sepatunya kw. Ya, memang sih. Tapi apa salahnya sama sepatu kw yang dia pakai? Beli sepatu mahal-mahal ujungnya juga diinjek, dipakenya dikaki bukan dikepala.
Gadis itu cuman manyun, sadar diri aja dia mah. Memang benar kok sepatunya kw tapi setidaknya dia masih pakai sepatu daripada anak jalanan yang sandal saja mereka tidak punya.
"Kita bakal ketemu lagi Mr. Puitis!" celetuknya. Sepedanya cuman diem tidak menanggapi omongan majikannya. "Gubrak" lagi. Gadis itu jatuh karena menabrak seseorang. Tapi bukan terjatuh dijalanan seperti minggu kemarin, tidak sampai terluka dilututnya. Gadis itu terbangun sedangkan yang ditabraknya berdiri didepannya menatapnya dengan penuh hina.
"Gotcha! Kita ketemu lagi Mr. Puitis." batinnya.
Lelaki itu, memakai jas putih seperti dokter pada umumnya. Gadis itu tau, karena dia mencari tau. Nah kan kepo akutnya kumat. Dan gadis itu kini tau nama lelaki itu, Gama. Lebih tua 10 tahun darinya.
Iya, dia kekasih Senja. Nama yang dia jumpai dipemakaman minggu lalu. Dia mencari tau sedetailnya, entah darimana saja tapi dia akhirnya tau. Gama berlalu, tapi terhenti sejenak saat gadis itu memanggil namanya, "Pak Gama!" teriaknya, dirumah sakit. Gama berbalik, mengangkat alisnya tanda bahwa dia menjawab "Apa?".
"Pak Gama udah bikin lutut saya berdarah minggu kemaren, tadi nabrak saya sampe saya jatuh. Pak Gama gak akan minta maaf ke saya?" Kening Gama berkerut, "Siapa gadis ini, dasar bocah!" Gama tidak terlalu memperdulikan gadis itu. Dia berbalik, sebelumnya dia menatap gadis itu lekat-lekat. Hanya matanya, yang mampu mengingatkan Gama pada Senja. Gama berlalu meninggalkan gadis itu. Dia lagi-lagi melongo.
"Anjiiirrr itu cowok cuek bangetsih!!!" gerutunya. "Awas aja lo Pak Gama. Lo bakal jatuh cinta sama gue secepat lo jatuh cinta sama Senja!". Terlalu percaya diri nih anak. Memangnya secepat apa Gama jatuh cinta pada Senja? Gama kan memperhatikan Senja selama hampir satu tahun. Sedangkan gadis ini dilihat saja tidak, mana bisa Gama tertarik padanya. Benar-benar over PD.
Langkahnya mengikuti kemana arah Gama pergi tadi. Dan dia berhenti disebuah ruangan, menurut informasi yang tadi dia tanyakan Gama sedang mengecek pasiennya. Gama dokter spesialis kanker. Semenjak Senja pergi dari kehidupannya dia tidak mau oranglain merasakan kehilangan seperti dirinya, kehilangan orang yang sangat disayanginya sebelum kebahagiaan mengiringi mereka berdua. Sebelum mereka mengikat janji setia sehidup semati selamanya. Dan semenjak Senja pergi pula dia tidak pernah untuk mencoba jatuh cinta. Hatinya sudah disita untuk Senja seorang. Hanya dan selamanya tetap Senja, katanya.
Gama keluar dari ruangan pasien, disambut seorang gadis yang tadi menabraknya. Dia nyengir lebar, menunjukan ekspresi wajah tanpa dosa.
"Mau apa kamu?" tanya Gama.
"Pak Gama harus membelikan saya ice cream sebagai permintaan maafnya." celetuknya.
Gama hanya mengerutkan keningnya. "Kalau saya belikan ice creamnya. Jangan ganggu saya lagi."
Gadis itu mengangguk, "Siap pak Gama!" memberi tanda hormat seperti pemimpin upacara kepada pembinanya. Gama tersenyum, setelah ditinggal Senja 9 tahun lalu. Dia tidak pernah tersenyum lagi seperti itu. Seorang gadis yang sesuatu. Mungkinkah gadis ini yang akan membuat Gama jatuh cinta kembali? Dan apakah Gama orang yang akan membuat gadis ini jatuh cinta?
"Jadi nama kamu nafa?" tanyanya.
"Iya Pak Gama" jawabnya sambil memakan ice cream cornettonya. Matanya terlalu fokus pada ice creamnya. Hingga dia tidak sadar kalau Gama memperhatikan caranya memakan ice cream. Kekanakan tapi lucu.
"Setelah ini kamu boleh mengganggu saya lagi." Nafa berhenti memakan ice creamnya, menengok ke arah Gama.
"Lo berubah pikiran Pak Gama?" tanyanya, dan mulutnya tetap sempat-sempatnya mampir ke ice creamnya. Dan tidak sopan sekali, memanggil Gama dengan sebutan "Lo" padahal Gama kan 10 tahun lebih tua daripada dirinya. Gama hanya terdiam menatap lekat pada mata Nafa. Mata itu, mata yang selalu ingin Gama tatap. Mata yang membuat Gama jatuh cinta. Mata yang membuat Gama rindu setengah mati. Nafa mengerutkan keningnya. "Ada apa Pak Gama?" tanyanya heran. Dengan cepat Gama mengalihkan pandangannya. Tidak secepat ini menemukan yang baru. Dia tidak seistimewa Senjaku, batinnya.
"Hollaaa Pak Gamaaaaa!" teriaknya. Gama menutup telinga dan matanya.
"Berisik!" balasnya. Nafa manyun.
Gama menahan senyumnya.
"Demi Tuhan anak ini lucu sekali." batinnya. Nafa yang sibuk dengan ice creamnya yang hampir habis tetap saja manyun.
"Dasar somplak!" gerutunya.
"Kamu bilang apa?" Nafa menoleh lalu menggeleng, "Gak ih."
"Ya sudah. Saya mau ke Rumah Sakit lagi. Permintaan maaf saya lunas." Gama berdiri dari kursi panjang ditaman itu. Menjauh dari tempat itu. Saat sudah hampir 20 meter dia membalikan badannya.
"Nafaaaa" teriaknya.
"Iyaaa?" jawabnya heran mendengar si dokter puitis itu berbalik lalu berteriak memanggil namanya.
"Datang pada saya lagi. Kapan pun kamu mau." Nafa melongo, Gama berbalik lalu setengah berlari menjauh dari tempat itu. Hatinya entah kenapa, ada sesuatu yang beda. Setelah Gama berbicara seperti itu. "Apa gue dikasih kesempatan buat ngegantiin Senja?" pikirnya. "Eh, gue kenapa yah. Kok rada seneng-seneng gimana gitu. Digituin jadi kaya ada manis-manisnya gitu hehehe."
Nafa mengayuh sepedanya dengan riang. Setelah pertemuannya dengan Gama waktu itu dia jadi sering ke rumah sakit. Sosoan ikut ngerawat pasien Gama padahal modus. Bibil juga mencium aroma kasmaran, wanginya menyengat. Bibil sampe enek karena itu sudah berlangsung hampir tiga minggu. Iya, sudah hampir sebulan sejak Nafa melihat Gama dipemakaman.
Semenjak itu pula mereka berdua dekat.
"Siang Pak Gama" sapanya. Gama menoleh lalu tersenyum.
"Tumben telat biasanya lebih awal." Nafa hanya nyengir kuda. Style pakaiannya tetap sama saat awal perkenalan mereka. Rambutnya tetap dikuncir satu dan satu lagi, wajahnya polos tanpa goresan make up.
"Ayok makan.." ajak Gama, Nafa mengangguk lalu mengikuti langkah Gama.
Mereka melaju ke sebuah restoran menggunakan mobil Gama, sepedanya ditinggal diRumah Sakit. "Gue udah biasa diginiin, tenang aja gue strong kok :')" Ini bibil yang ngomong. Mereka duduk, memesan makanan.
"Nanti aku kenalin kamu ke bunda yah." jelas Gama. Nafa cuman senyum-senyum aja nanggepinnya. "Gue bilang juga apa? Dia bakal jatuh cinta sama gue secepat dia jatuh cinta sama Senja." batinnya.
"Gama!" suara itu membuat mereka berdua menoleh. Seorang perempuan, sudah tua tapi dia kayaknya ibu-ibu sosialita. Terlihat dari pakaian dan perhiasan yang dia pakai. Bisa ditebak itu ibu Gama.
"Ngapain kamu disini?" Nada suaranya meninggi, orang disekitar mulai memperhatikan.
Gama hanya diam. Kalau bisa ditebak kayaknya Gama takut sama ibunya. Nafa tidak berkutik.
"Siapa dia?" tangannya menunjuk Nafa, pandangan matanya menyiratkan kebencian yang amat dalam. Padahal itu pertama kalinya beliau melihat Nafa.
"Anak dari saudagar mana dia? Keturunan mana dia? Apa jabatan ayah dan ibunya?." Pertanyaan yang bertubi-tubi yang berhasil membuat hati Nafa remuk seketika, matanya berkaca-kaca namun sebisa mungkin dia menahannya.
"Bunda sudah, ini tempat umum." Gama berusaha menghentikan ibunya karena dia yakin pasti Nafa terluka dengan pertanyaan ibunya.
"Siapa namamu?" tanya ibu Gama yang sepertinya tidak mau menggubris kata-kata Gama, bahkan mereka sudah menjadi pusat perhatian.
"Nafa bu.." suaranya terdengar lirih dan hati-hati.
"Kamu, berani-beraninya mendekati anak saya? Kamu pikir kamu siapa? Kamu tidak lihat penampilan kamu macam gembel itu hah? Anak saya ini seorang dokter, sedangkan kamu. Kamu itu siapa? Anak yang asal-usulnya gak jelas." Air mata Nafa jatuh. Sungguh ini menyakitkan. Nafa bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar restoran. Sebelum Gama mencegah Nafa, dia sudah dicegah terlebih dahulu oleh ibunya.
"Jangan pernah temui gadis gembel itu. Dia tidak sepadan dengan kita. Dia berbeda dengan kita." jelas ibunya.
Gama terduduk lemas, kisah cintanya saja belum dimulai namun masalah sudah datang menimpa mereka. Gama memang belum sepenuhnya mencintai Nafa karena dia masih belum bisa melupakan Senja. Namun dia sedang berusaha dan usahanya dihadang masalah besar, ibunya.
Nafa berlari tanpa henti, langkahnya mulai melambat, dia terduduk. Hatinya sakit sekali, air matanya membanjiri pipinya. Nafa lemas, terdengar suara mobil berhenti dan seorang lelaki menghampirinya sebelum semuanya benar-benar gelap.
"Nafaa.. " tubuhnya diguncang perlahan. Matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit.
"Kamu udah bangun?" tanya seseorang.
"Loh Gama? Bunda mana?" Tanya Nafa saat matanya sudah terbuka lebar dan dia menyadari kalau dia sedang berada dimobil Gama.
"Bunda? Bunda siapa?" Gama heran mendengar pertanyaan Nafa.
"Kita udah ke restoran?"
"Belom, ini baru sampai. Ayok turun" ajak Gama.
"Anjir gue mimpi doang dong?!" batin Nafa.
"Tadi kamu tidur, aku gak tega buat bangunin jadi aku ajak muter-muter dulu baru deh kesini. Buruan turun udah hampir sore udah laper banget nih." Nafa me-lo-ngo. Gila, mimpi macam apaan itu? Kenapa bisa detail banget mimpinya? Dan gue kan belom pernah ketemu ibunya Gama. Songong nih otak gue, mimpi buruk!
Nafa mencak-mencak gak jelas. Mengutuki mimpinya tadi. Sungguh mimpi buruk. Mereka masuk restoran dan memesannya. Hanya perbincangan biasa dan tidak ada Ibu Gama. Mereka pulang, sebelum mereka kembali ke rumah sakit Gama mengajaknya ke suatu tempat, iya pemakaman. Sebelum ke pemakaman pasti sudah tau kan ritualnya? Gama membeli balon, bunga dan menulis sebuah puisi. Hari sudah hampir senja, mereka tiba dipemakaman. Kali pertamanya, Gama mengajak Nafa ke pemakaman Senja.
"Dia kekasihku.." ucap Gama saat mereka tiba dipemakaman Senja.
Nafa hanya diam, karena dia sudah tau.
"Aku mencintainya, hanya dia dan tidak akan tergantikan." Gama masih melanjutkan ucapannya. Nafa masih diam tak berkutik. Gama menghampiri makam Senja, seperti biasa mengganti semua barang yang ada disitu dengan yang baru.
"Tapi aku harus hidup karena dia juga selalu hidup tanpaku disana." lanjut Gama lagi.
"Kamu bahagia tanpaku kan Senja?"
Tanya Gama menatap pada nisan bertuliskan nama Senja itu. Gama lalu tersenyum. Nafa memperhatikan Gama. Dia tidak mengerti apa yang sedang Gama lakukan. Gama mencium nisan Senja, layaknya dia mencium kening seorang perempuan, manis dan lembut. Dia berbisik pelan, "Dia bersamaku, untukmu." Gama bangkit.
"Ayok pulang.." ajak Gama sembari menyambar tangan Nafa, lalu menggenggamnya. Kalau biasanya Gama menggenggam tangan kanan Senja, kali ini dia menggenggam tangan kiri Nafa. Senja dan Nafa tetap berbeda baginya. Nafa memperhatikan tangannya yang tergenggam lalu memperhatikan mimik wajah Gama. Datar. Tidak ada sesuatu disana. Nafa diam, bukan mulutnya saja yang terkunci karena perlakuan Gama namun hatinya juga.
"Gama please, lo gila! Tapi gue suka!" teriak batinnya.
Hari ini hari yang indah bagi Nafa. Dia mengoceh sepanjang jalan menceritakan semuanya pada bibil, dan bibil cuman bisa pasrah. Sudah sebulan Nafa ceria lebih ceria dari biasanya, dan itu karena Gama. Dirumah pun dia menceritakan semua yang ia ketahui tentang Gama pada ibunya.
"Hati-hati neng, kan baru kenalan." berkali-kali ibunya hanya mengucapkan kalimat itu. Dan Nafa selalu menjawab dengan jawaban, "Tenang bu, Gama baik gak kayak laki-laki lain." Memang benar Gama baik. Tapi Nafa belum sepenuhnya mengenal Gama. Bukannya salah jatuh cinta secepat itu hanya saja, apa Gama juga benar-benar cinta pada Nafa? Apa Gama sudah melepaskan Senja demi Nafa? Entahlah. Nafa hanya tau dia jatuh cinta pada Gama. Semakin hari mereka memang semakin dekat. Dan ketahuilah bahwa Ibu Gama tidak sejahat yang pernah Nafa impikan. Ibu Gama baik dan menyambut Nafa dengan baik dan penuh cinta. Gama tidak pernah menyatakan cinta atau mengatakan bahwa dia mencintai Nafa, tapi sikapnya menunjukan kalau dia sudah jatuh cinta pada Nafa. Begitupun Nafa, dia selalu senang saat Gama menggenggam tangan kirinya atau sekedar memeluknya sebentar. Gama mengajak Nafa ke pantai hari ini, pantai yang biasa Senja kunjungi. Mereka naik ke atas batu tinggi.
"Waaaahh gilaa pemandangannya kereeeen bangeet. Senja adalah akhir yang bahagia." Gama menoleh pada Nafa lalu tersenyum, "Senja adalah awal dari kebahagiaan." Nafa menoleh pada Gama yang tersenyum menatap padanya.
"Will you marry me?" Nafa kaget. Bukan kaget semacam habis melihat hantu. Ini kaget kebahagiaan. Nafa menutup mulutnya yang menganga, hampir berteriak dan dia mengangguk senang. Air mata kebahagiaan jatuh dipelupuknya. Entah darimana tangan Gama sudah bersiap memasangkan sebuah cincin berlian ke tangan Nafa.
"Dua hari lagi kita menikah.." Lanjut Gama. Nafa memeluk Gama, seerat Senja memeluk Gama disore ke 12. Entah Gama mencintai Nafa atau hanya karena Nafa dan Senja-nya sedikit mirip. Mereka turun dari atas batu tinggi, saling bercerita dan berencana. Dan Nafa kini tau kalau Gama sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan keluarga mereka sudah saling tau rencana Gama. Curang kenapa cuman Nafa yang tidak diberi tau? Itu kejutan. Mereka pulang menggunakan bibil. Ya, setidaknya karna Nafa senang jadi ya bibil ikutan aja senang. Hari berlalu begitu cepat, entah mengapa sangat cepat. Pesta pernikahan Gama dan Nafa begitu meriah. Gaun Nafa putih panjang, rambutnya diikat, wajahnya tetap ayu diberi goresan make up, tangannya menggenggam seikat mawar hijau.
"Aku bahagia.." bisik Nafa pada Gama. Gama mencium kening Nafa lalu berbisik, "Aku mencintaimu." untuk pertama kalinya Gama mengatakan kalau dia mencintai Nafa.
"Aku sudah tau." jawabnya. Nafa melempar bunga mawar hijaunya ke arah para tamu. Hari hampir Senja. Gama dan Nafa pamit undur diri dari semuanya, mereka menaiki mobil pengantin menuju rumah baru mereka. Jaraknya cukup lama.
"Gama.." Gama yang sedang menyetir menoleh pada Nafa yang duduk disampingnya.
"Aku juga mencintaimu.." jelasnya.
Bahaya mengobrol saat menyetir, Nafa berteriak. "Gama awas!". Sontak Gama kaget dan membanting stir ke arah kanan mengindari truk yang ada didepannya. Dan sialnya diarah kanan melaju sebuah truk berkecepatan tinggi dan bruaakkk!!! Mobil mereka terseret jauh sebelum akhirnya terguling diaspal. Mobil mereka terbalik, Nafa dan Gama berdarah. Tubuh mereka tergencet mobil. Gama belum hilang kesadaran dengan nafas yang berat dia memanggil sebuah nama, "Senjaaa.."
Gama melihat Senja sesaat sebelum semuanya benar-benar gelap. Entah bagaimana namun tangan kiri Gama menggenggam tangan kanan Nafa. Kecelakaan maut itu yang menyebabkan kebahagiaan yang belum mereka mulai namun berakhir dengan tragis. Mereka dipertemukan saat senja, dan mereka pergi diantarkan oleh senja. Gama dan Nafa meninggal dihari pernikahan mereka, saat senja hampir menghilang dan di tanggal 4 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar